Rabu, 04 Februari 2009

I NYOMAN PUGRA .... Penari topeng Bali

Penghujung musim dingin 1974. Musim dingin belum sepenuhnya habis, bercah-bercah bekas salji masih menyepah di sisi Champ Ellisey. Orang lalu lalang dalam kecepatan yang perlu untuk mengusir kesejukan. Hanya satu jasad melangkah dalam irama perlahan, satu-satu menghujam dengan seluruh berat badan. Setiap langkahnya terasa dibebani oleh sepatu musim dingin pembukus kaki, kasut. Jaketnya sangat besar dan menyembulkan setumpuk lapisan baju-baju pembukus tubuh yang kelewat juga banyak.

Ia salah satu dari dua orang Indonesia yang pada hari itu mendapati dirinya terselip dalam kehidupan orang-orang kulit putih di Perancis, salah satu pusat kebudayaan di Eropah. Saya bersama dia I Nyoman Pigra, seorang petani dari Banjar Simadesa Kesimen, Bali Selatan. Sesekali pandangannya menyedari sekeliling, kemudian tunduk kembali menatap sepatu pembawa tubuhnya. Saya hampir pasti, cara dia memandang membentuk pengetahuan yang memancar dalam peribadinya, salah satu kebesarannya. Matanya selalu setengah pejam apabila menatap, seolah-olah hanya inti masalah saja yang dia ingin serap dari persoalan yang dia lihat. Lalu ia akan tunduk merenung membuka lebih luas pengetahuan tentang kesatuan hidup.

Tapi mungkin, dia sekadar menunduk melihat sepatunya - bukankah sepatu itu memang satu benda yang luar biasa baginya. Baru pada hitungan umur ke -56 dari tahun-tahun usianya, kakinya berbungkus sepatu. Dan betapa diatas sepatu itu tubuhnya terbawa memyusuli jalan megah yang licin, dipagari gedung-gedung menjulang penuh deretan etalase memenuhi segala mahal dari manusia metropolitan.

Saya tidak tahu apa yang direnungkannya. Mungkin itu kekaguman atau kerisihan melihat pameran kekenesan nafsu kenikmatan yang tersirap dari panorama sekitar. " Beh dingin sajan, (Bah, dingin sekali)," katanya dan wap air mengepul dari mulutnya. Tangannya mengusap bulu jaketnya, kemudian menyeret kerusi dan duduklah kami di kafe di Paris yang mungkin paling hebat dibandingkan dengan kafe lain di Eropah. Kulihat pandangan I Nyoman Pugra jatuh menatap secawan kopi yang sebentar-sebentar dihirupnya. Ia kelihatan tidak mahu memboroskan penglihatannya dengan sesak di kedai sempit berjubel ini. Perlahan-lahan kulihat matanya yang makin menyepit untuk kemudian terpejam sama sekali.

Aku yakin, dia lebih suka mendengar suara-suara dari sekitarnya. Pasti menyimak suara-suara dari sekitarnya. Derit pintu terbuka, suara lengking bernada tinggi dari dua wanita setengah umur, genit dan cerewet. Matanya terangkat dan dengan tajam terus membidik sasaran, menuju sudut ruangan. Kami tinggalkan kafe tadi. Kembali kami berjalan menuju stesyen keretapi bawah tanah. Dia tetap juga berjalan dengan cara yang sama.

Setelah makan siang di Jardin d'orient, sebuah restoran cina langganan kami, Nyoman lelap tidur di hotel. Malam itu rombongan kami akan mementaskan La Sorciere de Dirah (Dongeng dari Dirah) dalam versi topeng tradisi Bali seperti yang biasa dimainkan rombongan Topeng Pugra Banjar Sima yang terkenal di seluruh Bali. Seperti biasanya mereka bermain di Bali, pementasan malam yang lengkap dengan dialog. Dalam struktur topeng tradisi selalu ada bagian-bagian yang bernafaskan koreografi formal, ada bagian yang sangat improvisasi iaitu bagian bondresan(lelucon). Dalam teater topeng ini biasanya hanya ada tiga pemain. Seorang di antaranya akan memainkan beberapa topeng dalam berbagai karekter. Tentu saja Nyoman yang memainkannya kerana ini memerlukan kemahiran.

Gedung Theater Gaity Lirique penuh sesak dengan penonton yang rata-ratanya berkulit putih. Tentu sahaja mereka tidak mengerti sama sekali bahasa Bali. Nyoman tak mengerti bahasa Perancis. Tapi dia tahu mengerti siratan nilai kemanusiaan yang muncrat dalam suasana jalanan Champ Ellisey atau hiruk piruk kafe. Dia merakam situasi batin wanita tadi melalui tingkah laku, nada bicara dan ekspresi mukanya.


Di panggung, Pugra yang terbungkus kostum Topeng, membeberkan kembali yang dia serap dari lingkungan kota dunia ini. Kemanusiaan muncul dalam rentang paling luas, jarak kehidupan petani desa dan orang moden di metropolitan dia tembus dengan senang. Penonton Perancis ternganga, tergelak, tersindir, terkecoh, tersadarkan oleh kemanusiaan yang hadir dengan perkasa lewat jasad Pugra.

I Nyoman Pugra (almarhum), seorang petani dari desa Kesiman, Bali 56 tahun ketika dia bekerjasama dengan saya keliling Eropah empat bulan dalam lawatan pertunjukan Dongeng dari Diarah. Seusia perlawatan, saya masih sering menjenguk tokoh penari topeng yang mengagumkan ini.